MAKALAH
TREND & ISSUE PEMBELAJARAN MATEMATIKA
“Pengembangan Kompetensi Pemecahan Masalah (Problem
Solving),Pengajuan Masalah (Problem Posing) dan pemikiran Matematis (mathematical thinking) siswa”
DISUSUN OLEH:
AHMAD
ARDAN
WAHYUNI
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb.
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah
SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah kami sebagaimana mestinya. Shalawat dan salam juga tak lupa pula kami
kirimkan kepada baginda nabiullah Muhammad SAW,selaku tokoh reformasi bagi kita
sekalian yang mengajarkan kepada kebenaran khususnya bagi umat muslim
yang telah menunjukan kepada kita jalan kebenaran dan
kebaikan terutama yang masih tetap teguh pendirian sampai hari ini.
Tidak lupa kami sampaiakn terimah kasih kepda
pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.kami sadar bhwa
masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini,baik dari segi penyusunan
maupun kelengkapan dan ketepatan isis makalah. Untuk itu kami mengharpkan
kritik dan saran dari berbagai pihak agar selanjutnya dapat ditingkatkan dan
sempurna
Demikian makalh ini disusun agar dapat bermanfaat,
diterima dan digunakan sebagai acuan untuk makalah-makalah selanjutnya.
Majene, November 2017
Penulis
DAFTAR ISI
SAMPUL
1
KATA
PENGANTAR
2
DAFTAR
ISI
3
BAB 1 PENDAHULUAN
4
A. Latar belakang
4
B. Rumusan masalah
4
C.
Tujuan
4
BAB
2 PEMBAHASAN
5
Ø Pemecahan Masalah (Problem Solving)
5
Ø Problem Solving dalam
Pembelajaran Matematika
6
Ø Penerapan Problem Solving dalam pembelajaran Matematika
8
Ø Pengertian Metode Problem Posing
11
Ø Pengajuan Masalah (Problem Posing) dan Relevansinya dalam Pembelajaran
12
Ø Pengajuan Masalah (Problem Posing) Secara Kelompok atau Individu
13
Ø Petunjuk Bagi Guru dan Siswa dalam Pembelajaran dengan Metode Problem
Posing
14
Ø Tujuan dan Manfaat Metode Problem Posing
14
Ø Kebaikan dan Kelemahan Metode Problem Posing
15
Ø MATHEMATICAL THINKING
15
BAB 3 PENUTUP
20
Kesimpulan
20
DAFTAR PUSTAKA
21
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Problem solving dalam
pembelajaran matematika berbentuk masalah terkait penerapan konsep-konsep bahan
ajar yang dialami siswa dalam kehidupan. Problem solving
diharapkan dapat meningkatkan knowledge, afektif dan psikomotor
peserta didik dalam belajar matematika. Pengalaman belajar melalui problem
solving dapat memberi gambaran tentang bagaimana minat menjadi pendorong
untuk menguasai pengetahuan yang layak dan menimbulkan keingintahuan,
kepercayaan diri dan keterbukaan pikiran bagi peserta didik. Tugas guru adalah
membantu mengembangkan kemampuan peserta didik agar knowledge, afektif
dan psikomotor dapat berkembang dengan baik sehingga mereka mampu
menerapkan konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari melalui problem
solving.
Di
dalam proses belajar mengajar, guru harus memiliki strategi agar tujuan yang
diinginkan dapat dicapai secara efektif dan efisien. maka penguasaan materi
saja tidaklah mencukupi. Salah satu langkah untuk strategi ini adalah harus
menguasai berbagai teknik penyampaian materi dan juga dapat menggunakan metode
yang tepat dalam proses belajar mengajar sesuai materi yang digunakan oleh guru
adalah untuk menyampaikan informasi kepada siswa agar mereka dapat memiliki
pengetahuan, keterampilan dan sikap.Seorang guru yang menggunakan suatu metode
diharapkan dapat memberikan kesenangan dan kepuasan pada anak didik yang
merupakan salah satu faktor dalam memotivasi siswa agar mampu menggunakan
pengetahuannya untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi.
Mathematical thinking adalah kemampuan
untuk mengeksplorasi, menyusun konjektur, dan memberikan alasan secara logis;
kemampuan untuk menyelesaikan masalah non rutin; mengomunikasikan ide mengenai
matematika dan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi; menghubungkan
ide-ide dalam matematika, antar matematika, dan kegiatan intelektual lainnya.
Hal
tersebut akan di ungkap pada sub pembahasan keterkaitan konsep pemecahan
masalah dalam pembelajaran matematika.
B.
Rumusan
masalah
a. Apa
yang dimaksud dari problem solving?
b. Apa
yang dimaksud problem solving dalam matematika ?
c. Penerapan
problem solving?
d. Apa
yang dimaksud problem soving?
e. Pengajuan
problem soving?
f.
Apa yang
dimaksud mathematical thinking?
C.
Tujuan
a. Mengetahui
pengertian problem solving
b. Mengetahui
pengertian problem solving dalam matematika
c. Mengetahui
penerapan problem solving
d. Mengetahui
pengertian problem soving
e. Mengetahui
pengajuan problem soving
f.
Mengetahui pengertian
mathematicah thinking
BAB 2
PEMBAHASAN
Ø Pemecahan Masalah (Problem
Solving)
Problem
solving adalah satu pengolahan kognitif penting yang terjadi selama proses
pembelajaran, dan mengacu pada usaha orang untuk mencapai tujuan karena mereka
tidak memiliki solusi otomatis dan banyak pakar toeri pembelajaran yang
menganggap bahwa problem solving adalah proses kunci dalam pembelajaran,
khususnya pada matematika dan sains. problem solving mengacu pada
pemrosesan kognitif yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan ketika peserta
didik dihadapkan masalah yang pada awalnya belum diketahui metode solusi pemecahannya
secara langsung.
Munculnya
masalah adalah ketika peserta didik memiliki tujuan tetapi tidak tahu bagaimana
mencapainya. Masalah dapat diklasifikasikan sebagai masalah rutin atau tidak
rutin. Masalah dalam bentuk penerapan konsep dalam kehidupan termasuk dalam
masalah tidak rutin. Problem solving adalah pendekatan yang dapat
digunakan dalam menyelesaikan maslah tidak rutin. Sehungga masalah tidak rutin
berguna untuk: (1) mendorong peserta didik berpikir logis, (2) memperkuat
pemahaman tentang konsep, dan (3) mengembangkan strategi pemecahan masalah yang
dapat diterapkan pada situasi lain.
Problem
solving tidak
terjadi apabila peserta didik mempunyai kemampuan tinggi untuk menyelesaikan
masalah yang memungkinkan mereka secara otomatis dapat melakukan aktivitas problem
solving untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu tidak semua aktivitas
pembelajaran termasuk problem solving. Problem solving dapat dilakukan
melalui beberapa cara misalnya: trial-and-rror (ujia coba), pemahaman
dan heuristika (Schunk, 2012:417).
Uji
coba kadang-kadang tidak efektif, karean jika tidak berhasil maka hanya
membuang-buang waktu. Pemahaman sering menimbulkan kesadaran secara tiba-tiba
dalam menemukan solusi. Hasil penelitian Wallas (1921) dalam (schunk, 418)
menemukan bahwa orang yang mampu memecahkan masalah dengan hebat
mempformulasikan model dengan empat tahap yaitu: (1) persiapan, (2) inkubasi,
(3) ilumunasi, dan (verifikasi). Tahap persiapan adalah waktu untuk mempelajari
masalah dan mengumpulkan informasi yang mungkin sesuai dengan solusi. Tahap
inkubasi adalah masa memikirkan masalah, dapat berbentuk pembatasan
masalah untuk sementara. Tahap iluminasi adalah masa perenungan apabila ada
solusi yang mungkin muncul secara tiba-tiba dalam kesadaran. Tahap verifikasi
adalah masa untuk menguji solusi yang ada untuk memastikan kebenarannya.
Heuristika
adalah cara pemecahan masalah dengan menggunakan prinsip-prinsip yang biasanya
menghasilkan solusi. Prinsip mental Polya (1945/1957) termasuk di dalamnya
(Shcunk, 2012:420) adalah: (1) memahami masalah, (2) merancang rencana, (3)
menjalankan rencana, dan melihat kembali. Bertanya “apa yang tidak diketahui”?
dan “apa yang ditanya”? membantu untuk mamahami masalah dan menampilkan
informasi yang diberikan. Mencoba menemukan hubungan antara data yang diketahui
dengan data yang diketahui adalah bagian dari merancang rencana. Menjalankan
rencana dengan memecah masalah menjadi sub-sub tujuan sangat bermanfaat karena
memikirkan yang sama dan bagaimana menyelesaikannya, memeriksa setiap kebenaran
tahapan pelaksanaan. Memeriksa kembali untuk memastikan apakah sudah benar?.
Bentuk
heuristika lain dikemukakan oleh Bransford dan Stein (1984) dalam Shcunk,
2012:421) dikemal dengan IDEAL, yaitu: (1) Identify (mengidentifikasi)
maslah, (2) Define (mendefinisikan) dan menampilkan masalah, (3) Act (melaksanakan)
strategi, dan (4) Look back (melihat kemnbali) dan mengevaluasi pengaruh
aktivitas Anda. Heuristika umum akan bermanfaat jika dilakukan pada konten yang
tidak dikenal dan akan menjadi tidak efektif pada konten yang sudah diketahui
karena kemapuan yang spesifik berimbang, akibatnya peserta didik menggunakan
pengetahuan prosedural yang ada. Fleksibilitas heuristika akan dapat dilihat
dalam hal bagaimana langkah-langkah itu dijalankan.
Implikasi
hubungan antara problem solving dan pembelajaran menunjukkan bahwa
peserta didik dapat mempelajari heuristika dan strategi untuk menjadi pemecah
masalah yang handal, Bruning, et al,. (2004) dalam (Schunk, 2012:437). Untuk
melatih kemampuan pemecahan masalah peserta didik, Andre (1986) dalam (Schunk,
2012:438) memberikan sepuluh saran yang mewakili produksi dalam memori, diambil
dari teori dan hasil penelitian yaitu: (1) memberikan reprensentasi metafora
pada siswa, (2) Meminta siswa membuat pernyataan selama pemecahan masalah, (3)
menggunakan pertanyaan, (4) Berikan contoh, (5) koordinasikan ide, (6) gunakan
pembelajaran penemuan, (7) berikan deskripsi verbal, (8) ajarkan strategi
belajar, (9) gunakan kelompok kecil, dan (10) mempertahankan iklim psikologi
positif.
·
Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika
Pemecahan masalah (problem
solving) dalam matematika adalah suatu proses kognitif yang kompleks untuk
mengatasi suatu masalah dan memerlukan sejumlah strategi dalam
menyelesaikannya (Surya, 2011). Melalui Problem solving dalam matematika
peserta didik akan memperoleh pengalaman dalam menyelesaikan masalah yang tidak
rutin (tidak biasa) dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam
struktur kognitif mereka. Masalah matematika tidak rutin yang dimaksud adalah
masalah matematika yang terkait dengan penerapan konsep-konsep matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Penyelesaian masalah rutin memerlukan tingkat pemikiran
matematika yang tinggi. Sementara penyelesaian masalah rutin (biasa) hanya
mengikuti aturan (algoritma) dengan menghafal.
Pendekatan pembelajaran problem
solving dalam matematika tidak hanya mengarahkan peserta didik untuk mampu
menyelsaikan masalah matematika rutin dengan proses pembelajaran yang biasa,
akan tetapi diharapkan agar mampu menyelesaikan masalah yang tidak rutin dengan
proses pembelajaran yang mendukung. Pendekatan problem solving ini dapat
menjadi tempat berlatih bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan
menemukan pola, mengenerasikan, dan komunikasi matematis, berpikir rasional,
cermat, kritis, jujur, efektif dan logis.
Kemampuan tersebut mendukung tercapainya
tujuan kurikulum matematika sekolah yakni perserta didik mampu menghadapi
perkembangan dunia yang semakin tidak terbendung. Pembelajaran dengan
pendekatan problem solving merupakan strategi dalam proses pembelajaran
matematika yang sangat penting dan diperlukan oleh peserta didik dalam
menyelesaikan masalah matematika terkait dengan penerapan konsep-konsep
matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Nampak bahwa fokus penting
pembelajaran matamatika adalah pendekatan problem solving sebagaimana
yang terantum pada kurikulum mata pelajaran matematika jenjang SD/MI. SMP/MTs
SMA/MA dan SMK. Hal ini dapat dilihat dalam setiap Kompetensi Dasar (KD)
terdapat topik bahasan yang mengarahkan siswa untuk mampu menerapkan
konsep-konsep matematika dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Penerapan konsep-konsep matematika pada pemecahan masalah tentu
memerlukan kemampuan berpikir matematis yang tinggi.
Problem solving dalam pembelajaran matematika
difokuskan pada pembelajaran topik matematika melalui konteks problem
solving dan lingkungan yang berorientasi pada kemampuan peserta didik dan
membantu guru membangun pemahaman mendalam tentang gagasan dan proses
matematika dengan melibatkan peserta didik dalam aktivitas matematika:
menciptakan, menduga, mengeksplorasi, menguji, dan verifikasi (Lester et al.,
1994) Beberapa pendapat tentang karakteristik spesifik dalam problem solving
matematika antara lain:
·
Van Zoest et al., (1994), karekteristik problem
solving adalah:
·
Interaksi antara siswa dengan siswa dan intersksi
antara guru dan siswa.
·
Dialog matematika dan konsensus antara siswa.
·
Cobb et al., (1991), karekteristik problem solving
adalah:
·
Guru memberikan informasi yang cukup untuk menetapkan
latar belakang/tujuan dari masalah, dan siswa mengklarifikasi, menafsirkan, dan
mencoba untuk membangun satu atau lebih proses solusi.
·
Guru menerima jawaban yang benar / salah dengan cara
yang tidak evaluatif
·
Lester et al., (1994), karekteristik problem
solving adalah:
·
Guru membimbing, melatih, mengajukan pertanyaan dan
sharing yang mendalam dalam proses pemecahan masalah
·
Guru mengetahui kapan tepat untuk melakukan
intervensi, dan kapan harus melangkah mundur dan membiarkan murid membuat jalan
mereka sendiri.
·
Evan dan Lappin, (1994), karekteristik problem solving
adalah:
·
Pendekatan pemecahan masalah dapat digunakan untuk
mendorong siswa membuat generalisasi tentang peraturan dan konsep, sebuah
proses yang penting bagi matematika.
Problem solving adalah komponen penting dalam
pendidikan matematika karena berperan sebagai media (kendaraan) untuk
mencapai nilai matematika pada aspek: fungsional, logis dan estetis yang dapat
dicapai di tingkat sekolah. Matematika adalah disiplin ilmu yang esensial
karena mempunyai peran praktis bagi individu dan masyarakat. Aspek matematika
tersebut dapat dikembangkan melalui pendekatan Problem solving.
Mengembangkan keterampilan yang diperlukan peserta didik untuk
memecahkanmasalah dapat dilakukan dengan memberikan sebuah masalah yang dapat
memberi motivasi dibandingkan dengan mengajarkan keterampilan tanpa konteks.
Motivasi tersebut memberikan nilai khusus problem solving sebagai wadah
untuk mempelajari konsep dan keterampilan baru atau penguatan keterampilan yang
telah diperoleh (Stanic dan Kilpatrick, 1989, NCTM, 1989). Selanjutnya NCTM,
(1980) merekomendasikan bahwa problem solving menjadi fokus pembelajaran
matematika karena, mencakup bagian penting dalam kehidupan sehari-hari.
Problem solving harus mencakup semua aspek pembelajaran matematika untuk
memberi pengalaman tentang kekuatan matematika kepada peserta didik dalam upaya
membangun, mengevaluasi dan memperbaiki teori mereka sendiri tentang matematika
dan teori orang lain.
Nampaknya pemdekatan problem
solving berkontribusi pada penggunaan praktis matematika antara lain; (1)
membantu mengembangkan fasilitas agar mudah beradaptas, (2) membantu
untuk pindah ke lingkungan kerja baru, dan (3) mempersiapkan peserta didik
menjadi pelajar adaptif yang baik, untuk bekerja dengan efektif ketika
tuntutan tugas berubah. Dengan demikian, maka tidaklah berlebihan apabila ada
ungkapan bahwa kemampuan keterampilan problem solving adalah jantungnya
matematika karena dapat digunakan pada berbagai situasi yang tidak biasa.
Melalui pendekatan problem
solving ini pula peserta didik dapat memilih proses deduksi logis algoritma
jika situasi memerlukan, dan kadang-kadang perlu mengembangkan aturan mereka
sendiri apabila situasi algoritma tidak dapat langsung diterapkan, sehingga problem
solving dapat dikembangkan sebagai keterampilan berharga dalam diri peserta
didik, bukan hanya sebagai alat untuk menemukan jawaban yang benar.
Penekanan pendekatan problem sovling penting sebagai alat untuk
mengembangkan aspek pemikiran logis matematika, dan mendorong individu untuk
mendapatkan pengetahuan baru, karena matematika standar, dengan penekanan pada
perolehan pengetahuan, tidak selalu memenuhi kebutuhan. Selain itu teknik
problem sovling dianggap sangat penting sebagai bentuk estetika karena
memungkinkan peserta didik untuk mengalami berbagai emosi dalam tahap-tahap
proses menemukan solusi masalah.
NTCM (1980 dan 1989)
merekomendasikan agar kurikulum matematika disusun berorientasi pada pemecahan
masalah, dengan fokus sebagai berikut:
·
Mengembangkan keterampilan dan kemampuan untuk
menerapkan keterampilan ini ke situasi yang tidak biasa.
·
Mengumpulkan, mengorganisir, menafsirkan dan
mengkomunikasikan informasi.
·
Merumuskan pertanyaan kunci, menganalisis dan
mengkonseptualisasikan masalah, menentukan masalah dan sasaran, menemukan pola
dan persamaan, mencari data yang sesuai, bereksperimen, mentransfer
keterampilan dan strategi ke situasi baru.
·
Mengembangkan rasa ingin tahu, kepercayaan diri dan
keterbukaan pikiran.
Problem solving dalam pembelajaran bertujuan untuk
: (1) mendorong peserta didik untuk memperbaiki dan membangun proses kognitif
mereka sendiri, dan (2) mengembangkan pengetahuan peserta didik, dan (3)
mengembangkan pemahaman kapan waktu yang tepat untuk menggunakan strategi
tertentu, dan (4) membuat peserta didik lebih bertanggung jawab atas
pembelajaran mereka sendiri daripada membiarkan mereka merasa bahwa algoritma
yang mereka gunakan adalah penemuan beberapa ahli dan tidak dipahami. Terkait
dengan tujuan tersebut peserta didik terlibat secara aktif dalam problem
solving dengan merumuskan dan memecahkan masalah mereka sendiri, dan juga
menulis ulang masalah dengan kata-kata mereka sendiri dalam rangka untuk
memudahkan pemahaman. Penting untuk dicatat bahwa melalui teknik problem
solving peserta didik mendapat dorongan terkait dengan proses yang sedang
mereka lakukan sebagau upaya untuk memperbaiki pemahaman, menemukan wawasan
baru tentang masalah dan mengkomunikasikan gagasan mereka.
·
Penerapan Problem Solving dalam pembelajaran
Matematika
Pembelajaran melalui problem
solving tentu dimulai dengan sebuah masalah. Peserta didik belajar
dan memahami aspek penting dari konsep atau ide dengan mengeksplorasi situasi
masalah. Masalah yang digunakan cenderung lebih terbuka dan memungkinkan
beberapa jawaban yang benar dan beberapa pendekatan solusi. Dalam mengajar
melalui pemecahan masalah, masalah tidak hanya berokus pada rangsangan untuk
belajar siswa, tapi juga berfungsi untuk eksplorasi matematika. Siswa berperan
aktif dalam proses pembelajaran dengan mengeksplorasi dan menemukan strategi
solusi mereka sendiri, karena eksplorasi masalah merupakan komponen penting
dalam pengajaran melalui pemecahan masalah.
Dibawah ini beberapa contoh
penerapan problem solving dalam pembelajaran matematika;
Masalah 1
·
Rata-rata nilai tes sepuluh orang peserta didik adalah
78. Skor paling atas dan bawah yaitu 65 dan 95 dibuang oleh guru. Berapakah
rata-rata sisa nilai yang tersisa?
Solusi peserta didik:
10 – 2 = 8
(95 + 65) = 160
160 : 10 = 16
78 – 16 = 62
62 x 10 = 620
620 : 8 = 77,5
Jadi rata-rata sisa nilai setelah nilai atas dan bawah dibuang adalah, 77,5.
Deskripsi dari Solusi:
·
Peserta didik pertama kali menggunakan salah satu
sifat rata-rata dan menentukan bahwa sisa peserta didik adalah 8 (diperoleh
dari 10-2). Sehingga ada 8 nilai harus ada diantara 65 dan 95. Kemudian peserta
didik membuat deretan sepuluh lingkaran, dengan meletakkan angka 95 di nomor
pertama dan 65 di terakhir, 8 lingkaran lainnya dibiarkan kosong. Dengan
menggunakan pendekatan modifikasi pembagian, peserta didik menyadari bahwa 65
dan 95 memberikan kontribusi 16 terhadap rata-rata yaitu [(95 + 65)
: 10] = 16. Selanjutnya peserta didik mengatakan bahwa masing-masing dari 8
lingkaran kosong harus didapat 16. Tetapi karena 16 adalah 62 kurangnya
dari 78 (16 adalah rata-rata untuk sepuluh nilai), peserta didik tersebut
kemudian melakukan operasi perkalian 10 dengan 62 dan mendapat hasil 620.
Selanjutnya 620 kemudian dibagi oleh 8 dan mendapatkan 77,5. Jadi
rata-rata nilai yang tersisa setelah nilai atas dan bawah dibuang adalah
77,5.
·
Dalam solusi ini, peserta didik memiliki kata kunci
yaitu membuang bagian atas dan bawah saat mengambil 16 dari masing-masing nilai
lainnya. Dengan menemukan pendekatan ini, peserta didik tersbut telah
menunjukkan pemahaman yang luar biasa tentang rata-rata. Peserta didik telah
mampu menghubungkan pengetahuan awal yang telah ada dalam struktur kognitf
mereka, namun demikian peserta didik masih harus diarahkan untuk mengembangkan
strategi yang lebih efisien.
Nampak jelas bahwa peserta didik
mampu menciptakan strategi mereka sendiri menyelesaikan masalah. Dalam
pembelajara ini peserta didik diberi kesempatan untuk mendiskusikan strategi
alternatif untuk menyelesaikan masalah sebelum proses penyelesaian masalah
berlangsung. Pertanyaannya adalah:
·
Bagaimana perserta didik belajar menggunakan strategi
yang ada sebelum ada instruksi yang terjadi?
·
Bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki
peserta didik untuk menciptakan strategi yang masuk akal?
Jawaban yang mungkin dari pertanyaan
ini adalah:
Prosedur yang diciptakan peserta
didik bersumber dari kedalaman intuisi dan cara berpikir alami mereka.
Selanjutnya perlu mengkaji lebih jauh tentang bagaimana cara berpikir alami
peserta didik dalam problem solving matematika.
Masalah 2
·
Satu karung beras mempunyai berat 240 kg. Untuk
menyamakan berat satu karung beras dengan beberapa orang, berapa orangkah yang
diperlukan?.
Beberapa Solusi peserta didik:
1. 240 : 6 = 40
Kerena 6 x 40 = 240
Jadi ada 6 orang dengan berat badan masing-masing
40 kg
2. 240 : 8 = 30
Karena 8 x 30 = 240
Jadi, ada 8 orang dengan berat
masing-masing 30 kg
3. 3 orang beratnya 20 kg dan 6 orang
beratnya 30 kg.
(3 x 20) + (6 x 30)
= 60 + 180
= 240.
4. (2 x 5) + (10 x 23) = 10 + 230 = 240
Jadi, ada 2 orang beratnya 5 kg dan
10 orang beratnya 23 kg.
Misalkan:
x = berat badan orang I
y = berat badan orang
II
x = 5 dan y = 10
berapa kali 5 ditambah dengan berapa
kali 10 menghasilkan 240.
Jadi, dapat ditulis: 2x
+ 10y = 240
Deskripsi solusi peserta didik:
·
Masalah ini adalah mempunyai banyak solusi (open
ended). Sehingga solusi no. 1 dan no.2 di atas adalah benar, apabila
memisalkan semua orang yang dimaksud mempunyai berat yang sama. Sehingga
penyelesaiannya langsung menggunakan konsep pembagian biasa (algoritma
pembagian). Peserta didik memanfaatkan pengetahuan yang telah tersimpan
dalam struktur kognitif mereka terkait dengan operasi bilangan positif dan
menggunakannya dalam penyelesaian masalah. Masih ada realitas lain yang dapat
menjadi pemecahan. Bagaimana kalau berat yang dimaksud ada yang sama dan
digabung dengan berat yang tidak sama?. Solusi no.3 dan no 4 adalah contohnya
penyelesaian yang memenuhi. Penyelesaiannya memerlukan langkah-langkah, dan
akan diperoleh banyak solusi. Kemampuan peserta didik dalam mengaitkan
pengetahuan yang telah dimiliki menunjukkan kemampuan mereka dalam problem
solving.
·
Dalam hal ini peserta didik dengan solusi no.3 dan
no.4 telah menggunakannya. Peserta didik telah melakukan pemrosesan
informasi dalam menyelsaikan masalah dengan menggunakan pengetahuan yang
tersimpan dalam struktur kognitif mareka. Sehingga mereka mampu melakukan
investigasi, membuat model matematika, lalu mendapatkan keputusan.
Pemecahan masalah 2 di atas
menggunakan konsep-konsep pada bilangan dengan opeasi penjumlahan,
pembagian, perkalian, dan aljabar dalam bentuk model matematika dengan
persamaan matematika terbuka. Karena masalah 2 di atas adalah masalah dengan
solusi banyak (open ended) maka penyelesaian yang mungkin
tergantung pada kemampuan intelektual dan pengalaman peserta didik. Kemapuan
komunikasi matematis dan kreatif yang produktif dalam mengambil keputusan
tentu sangat diperlukan dalam problem solving. Problem solving melalui
pendekatan open ended sangat diperlukan sebagai upaya untuk
mengembangkan kemampuan intelektual peserta didik dalam pembelajaran
matematika. Pendekatan open ended akan merangsang peserta didik
untuk berlatih secara individu dalam rangka mengembangkan kompetensi tanpa
ikut-ikutan dengan jawaban temannya.
Ø Pengertian Metode
Problem Posing
Di dalam proses belajar mengajar,
guru harus memiliki strategi agar tujuan yang diinginkan dapat dicapai secara
efektif dan efisien. maka penguasaan materi saja tidaklah mencukupi. Salah satu
langkah untuk strategi ini adalah harus menguasai berbagai teknik penyampaian
materi dan juga dapat menggunakan metode yang tepat dalam proses belajar
mengajar sesuai materi yang digunakan oleh guru adalah untuk menyampaikan
informasi kepada siswa agar mereka dapat memiliki pengetahuan, keterampilan dan
sikap.Seorang guru yang menggunakan suatu metode diharapkan dapat memberikan
kesenangan dan kepuasan pada anak didik yang merupakan salah satu faktor dalam
memotivasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan suatu
masalah yang dihadapi.
Kemudian untuk mengetahui tentang
pengertian metode problem Posing adalah sebagai berikut:
Suryanto mengartikan bahwa
kata “problem” sebagai masalah atau soal, sehingga pengajuan masalah dipandang
sebagai suatu tindakan merumuskan masalah atau soal dari situasi yang
diberikan.
Silver mencatat bahwa istilah
“menanyakan soal” biasanya diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif
yang berbeda:
a. Menanyakan per-solusi, dimana
seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan.
b. Menanyakan di dalam solusi, dimana
seorang siswa merumuskan ulang soal seperti yang telah diselesaikan.
c. Menanyakan setelah solusi, dimana
seorang siswa memodifikasi tujuan dan kondisi soal yang sudah diselesaikan
untuk membuat soal-soal baru.
Dan yang diterapkan oleh obyek
penelitian ini adalah pre-solusi, yaitu suatu bentuk menanyakan sebelum solusi.
Dalam penelitian ini, pengajuan soal
diartikan sebagai perumusan/pembentukan soal atau pertanyaan dari situasi
(informasi) yang disediakan. Gunanya sebagai penguatan terhadap konsep yang
diajarkan dan memperkaya konsep-konsep dasar.
Ø Pengajuan Masalah (Problem Posing)
dan Relevansinya dalam Pembelajaran
Pengajuan
masalah berkaitan dengan kemampuan guru memotivasi siswa melalui perumusan
situasi yang menantang, sehingga siswa dapat mengajukan pertanyaan yang dapat
diselesaikan dan berakibat kepada peningkatan kemampuan mereka dalam memecahkan
masalah.
Dalam pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar, guru hendaknya memilih strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar,
baik secara mental, fisik, maupun sosial. sebagaimana definisi mengajar di
negara-negara yang sudah maju: “teaching is the guidance of learning”.
“Mengajar adalah bimbingan kepada siswa dalam proses belajar”. Definisi ini
menunjukkan bahwa yang aktif adalah siswa, yang mengalami proses belajar.
Sedangkan guru hanya membimbing, menunjukkan jalan dengan memperhitungkan
kepribadian siswa. Kesempatan untuk berbuat dan aktif berpikir lebih banyak
diberikan kepada siswa. Hal ini sangat berkaitan dengan metode pengajuan soal.
Pengajuan soal merupakan kegiatan yang mengarah pada sikap kritis dan kreatif.
Sebab dalam metode pengajuan soal, siswa diminta untuk membuat pertanyaan dari
informasi yang diberikan. Padahal bertanya merupakan pangkal semua kreasi.
Orang yang memiliki kemampuan mencipta (berkreasi) dikatakan memiliki sikap
kreatif, selain itu dengan pengajuan soal, siswa diberi kesempatan aktif secara
mental, fisik dan sosial serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menyelidiki dan juga membuat jawaban.
Pengajuan soal dapat meningkatkan
kemampuan belajar siswa, karena pengajuan soal merupakan sarana untuk
merangsang kemampuan tersebut. dengan membuat soal, siswa perlu membaca
informasi yang diberikan dan mengkomunikasikan pertanyaan secara verbal maupun
tertulis. Menulis pertanyaan dari informasi yang ada dapat menyebabkan ingatan
siswa jauh lebih baik. kemudian dalam pengajuan soal siswa diberikan kesempatan
menyelidiki dan menganalisis informasi untuk dijadikan soal. Kegiatan
menyelidiki tersebut bagi siswa menentukan apa yang dipelajari, kemampuan
menerapkan penerapan dan perilaku selama kegiatan belajar. Hal tersebut
menunjukkan kegiatan pengajuan soal dapat memantapkan kemampuan belajar siswa.
Komunikasi siswa yang terjadi di
kelas dibagi dalam dua model, yaitu model reseptif dan model ekspresif.
Model reseptif adalah model komunikasi siswa yang menggunakan lembar
kerja dan latihan-latihan yang disediakan guru. Sedang model ekspresif
adalah model komunikasi siswa menggunakan diskusi, menulis kreatif dan
melakukan kegiatan-kegiatan. Pengajuan soal atau membuat sendiri pertanyaan
merupakan salah satu cara komunikasi siswa dengan model ekspresif.
Model ekspresif lebih
mendesak untuk diterapkan di dalam kelas, sebab dengan model tersebut siswa akan
merasa tertarik dan merasa memiliki kegiatan belajar tersebut. Dengan demikian
pembelajaran perlu diupayakan menerapkan model ini, disamping tidak
meninggalkan model reseptif.
Pengajuan masalah menurut Brown dan
Walter terdiri dari 2 aspek penting, yaitu accepting dan challenging,
Accepting berkaitan dengan sejauh mana siswa merasa tertantang dari
situasi yang diberikan oleh guru. Sementara challenging berkaitan dengan
sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan sehingga
melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah atau soal. Hal ini berarti bahwa
pengajuan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan proses nalar mereka.
Dari
beberapa pandangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengajuan masalah (problem
Posing) merupakan reaksi siswa terhadap situasi yang telah disediakan oleh
guru. Reaksi tersebut berupa respon dalam bentuk pertanyaan.
Ø Pengajuan Masalah (Problem Posing)
Secara Kelompok atau Individu
Pengajuan masalah/soal dapat
dilakukan secara kelompok atau individu. Secara umum pengajuan masalah
oleh siswa dalam pembelajaran, baik secara kelompok maupun individu merupakan
aspek yang penting. Tingkat pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi yang
dipelajarinya dapat dilihat melalui pertanyaan yang diajukannya.
a. Pengajuan Masalah Secara Kelompok
Pengajuan masalah secara kelompok
merupakan salah satu cara untuk membangun kerja sama yang saling menguntungkan.
Dimyati dan Mudjiono mengemukakan
bahwa tujuan utama pembelajaran dengan cara berkelompok adalah untuk:
a) Memberi kesempatan kepada setiap
siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara rasional.
b) Mengembangkan sikap sosial dan
semangat bergotong royong dalam kehidupan.
c) Mendinamiskan kegiatan kelompok
dalam belajar sehingga tiap anggota merasa diri sebagai bagian ke yang
bertanggung jawab.
d) Mengembangkan kemampuan
kepemimpinan-kepemimpinan pada setiap anggota kelompok dalam pemecahan masalah
kelompok..
Dalam kaitannya dengan bekerja sama
dalam kelompok belajar, Goos, Galbraith dan Renshaw memberikan 3
pengertian yang berbeda.
a) Paralel activity, artinya siswa
bekerjasama secara paralel dalam kelompok dengan sedikit pertukaran ide atau
gagasan.
b) Peer tutoring, artinya siswa
mengerjakan soal secara bersama-sama dalam kelompok dan salah seorang siswa yang
lebih pintar menjadi pengendali jalannya kerja sama.
c) Collaboration yang meliputi
Cooperative Learning Strategy (CLS). Strategi ini menuntut siswa bekerja sama
dalam kelompoknya terhadap masalah yang sama dan tidak ada diantara mereka yang
boleh mengerjakannya sendiri-sendiri.
Pengajuan masalah melalui kelompok
dapat membantu siswa dalam memikirkan ide secara lebih jauh antara sesama
anggota di dalam kelompok. Dengan demikian pengajuan masalah secara kelompok
dapat menggali pengetahuan, alasan, pandangan antara satu siswa dengan siswa
yang lain.
b. Pengajuan Masalah Secara Individu
Pengajuan masalah secara individu
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah proses pembelajaran yang berlangsung di
dalam kelas, dengan seorang guru sebagai fasilitator dan diikuti oleh semua
siswa di dalam kelas. Selanjutnya, secara perorangan atau individu, siswa
mengajukan dan menjawab pertanyaan tersebut baik secara verbal maupun tertulis
berdasarkan situasi/informasi yang telah diberikan oleh guru
Sama halnya dengan pengajuan masalah
(soal) secara kelompok. Pengajuan masalah secara individu juga memiliki
kelebihan. Pertanyaan yang diajukan secara individu berpeluang untuk dapat
diselesaikan (solvable) daripada terlebih dahulu dipikirkan secara matang,
sungguh-sungguh dan tanpa intervensi pikiran dari siswa lainnya, dapat menjadi
lebih berbobot. Selain itu aktivitas siswa berupa pertanyaan, tanggapan, saran
atau kritikan dapat membantu siswa untuk lebih mandiri dalam belajar.
Ø Petunjuk Bagi Guru dan Siswa dalam
Pembelajaran dengan Metode Problem Posing
Sebagaimana halnya dengan metode
lain, metode pengajuan masalah/soal mempunyai pedoman dalam pelaksanaannya.
Dalam hal ini meliputi:
a. Petunjuk Pembelajaran yang Berkaitan
dengan Guru
Posisi guru dalam pembelajaran dengan metode problem Posing (pengajuan masalah)
adalah sebagai fasilitator. Selain itu, guru berperan mengantarkan siswa dalam
memahami konsep dengan cara menyiapkan situasi sesuai dengan pokok bahasan yang
diajarkan. Selanjutnya, dari situasi tersebut, siswa mengkonstruksi sebanyak
mungkin masalah dalam rangka memahami lebih jauh tentang konsep tersebut. dalam
pembelajaran ini yang harus dilakukan oleh guru adalah:
1. Guru hendaknya selalu memotivasi
siswa untuk mengajukan atau membuat soal berdasarkan materi yang telah
diterangkan atau dari buku paket.
2. Guru melatih siswa merumuskan dan
mengajukan masalah, soal atau pertanyaan berdasarkan situasi yang diberikan.
b. Petunjuk Pembelajaran yang Berkaitan
dengan Siswa
Student centered merupakan salah satu ciri dari
metode pengajuan masalah/soal. Siswa seyogyanya berperan aktif mengajukan soal
dan penyelesaiannya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk siswa yang lain.
Secara khusus, Suryanto berpendapat:
1. Siswa dibiasakan mengubah dan
memvariasikan situasi yang diberikan menjadi masalah, soal atau pertanyaan yang
baru.
2. Siswa harus diberanikan untuk
menyelesaikan masalah/soal yang dirumuskan oleh temannya sendiri.
3. Siswa diberi motivasi untuk
menyelesaikan masalah, soal atau pertanyaan non rutin.
Dalam pembelajaran dengan
menggunakan metode problem Posing pada prinsipnya siswalah yang harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau orang lain. Penekanan
belajar siswa aktif ini dalam dunia pendidikan terlebih di Indonesia kiranya sangat
penting dan perlu.
Kreatifitas dan keaktifan siswa akan
membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka
akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal, sebab mereka
selalu berpikir, bukan menerima saja. Anggapan lama yang menyatakan bahwa anak
itu tidak tahu apa-apa, sehingga pendidik harus mencekoki mereka dengan
bermacam hal, kiranya tidak cocok lagi dengan prinsip metode problem Posing
ini.
Ø Tujuan dan Manfaat Metode Problem
Posing
Menurut pendapat beberapa ahli, yang dikutip oleh
Tatag, mengatakan bahwa metode pengajuan soal (problem Posing) dapat:
a. Membantu siswa dalam mengembangkan
keyakinan dan kesukaan terhadap pelajaran sebab ide-ide siswa dicobakan untuk
memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan performennya
dalam pemecahan masalah.
b. Membentuk siswa bersikap kritis dan
kreatif.
c. Dapat mempromosikan semangat inkuiri
dan membentuk pikiran yang berkembang dan fleksibel.
d. Mendorong siswa untuk lebih
bertanggung jawab dalam belajarnya.
e. Mempertinggi kemampuan pemecahan
masalah, sebab pengajuan soal memberi penguatan-penguatan dan memperkaya
konsep-konsep dasar.
f.
Menghilangkan kesan keseraman dan kekunoan dalam
belajar.
g. Memudahkan siswa dalam mengingat
materi pelajaran.
h. Memudahkan siswa dalam memahami
materi pelajaran.
i.
Membantu memusatkan perhatian pada pelajaran.
j.
Mendorong siswa lebih banyak membaca materi pelajaran.
Ø Kebaikan dan Kelemahan Metode
Problem Posing
Setiap metode tidak luput dari
kebaikan dan kelemahan. Adapun kebaikan metode pengajuan masalah (problem
Posing) antara lain:
a. Mendidik murid berpikir kritis.
b. Siswa aktif dalam pembelajaran
c. Belajar menganalisa suatu masalah.
d. Mendidik anak percaya pada diri
sendiri.
Sedangkan kelemahannya:
a. Memerlukan waktu yang cukup banyak.
b. Tidak bisa digunakan di kelas-kelas
rendah.
c. Tidak semua murid terampil bertanya.
Ø
MATHEMATICAL THINKING
Mathematical
thinking adalah kemampuan untuk mengeksplorasi, menyusun konjektur, dan
memberikan alasan secara logis; kemampuan untuk menyelesaikan masalah non
rutin; mengomunikasikan ide mengenai matematika dan menggunakan matematika
sebagai alat komunikasi; menghubungkan ide-ide dalam matematika, antar
matematika, dan kegiatan intelektual lainnya.
Daya matematika
merupakan kemampuan yang perlu dimiliki siswa yang belajar matematika pada
jenjang sekolah manapun.
Pengertian
berpikir matematika dipandang lebih luas cakupannya dibandingkan dengan
penalaran matematik atau dapat dikatakan berpikir matematik memuat komponen
penakaran matematik.
Berpikir matematika adalah kegiatan
yang sangat kompleks, contoh yang sering digunakan dalam proses mathematical
thinking adalah:
•
Mengkhususkan diri dan
generalising.
•
Conjecturing dan
meyakinkan.
kemampuan untuk memilih yang sesuai dan
strategi yang sesuai (konsep) dan adaptasi bila diperlukan. adalah tentang
matematika proses dan bukan tentang banyaknya cabang partikel dalam matematika.
Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana membuat konsep pertama dalam
menjawab berbagai soal, bagaimana menyelesaikan soal dengan efektif dan
bagaimana untuk mempelajari berbagai uji coba.
Terdapat beberapa
istilah yang berelasi dengan istilah berpikir matematik (mathematical
thinking), diantaranya adalah: kegiatan matematik (doing math), tugas matematik
(mathematical task), keterampilan matematik (mathematical ability), daya
matematika (mathematical power), dan penalaran matematik (mathematical
reasoning), dalam beberapa pembahasan, penggunaan istilah-istilah tersebut
kadang-kadang dipertukarkan karena mereka memuat beberapa kegiatan yang serupa.
Istilah kegiatan matematik (doing math) diartikan sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan proses, konsep, sifat, dan ide matematika, mulai dari yang
paling sederhana sampai dengan yang kompleks. Sedang istilah tugas matematik
(mathematical task) merupakan soal atau tugas berkenaan dengan doing math.
Istilah keterampilan atau kemampuan matematik (mathematical abilities)
diartikan sebagai keterampilan melaksanakan doing math atau menyelesaikan
mathematical task. Misalnya proses menghitung merupakan doing math yang
sederhana, sedang membuktikan tergolong pada doinbg math yang kompleks atau
tinggi. Contoh lain misalnya, soal bentuk ʃ sin x dx memuat doing math yang
rendah dan tergolong pada mathematical task tingkat rendah untuk siswa SMA.
Istilah berpikir matematik
(mathematical thinking) diartikan sebagai cara berpikir berkenaan dengan proses
matematik (doing math) atau cara berpikir dalam menyelesaikan tugas matematik
(mathematical task) baik yang sederhana maupun yang kompleks. Merujuk
pengertian diatas, maka istilah mathematical ability, dapat diartikan juga
sebagai kemampuan melaksanakan mathematical thinking. Selanjutnya, ditinjau
dari kedalaman atau kekompleksan kegiatan matematik yang terlibat., berpikir
matematik dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu yang tingkat rendah (low
order mathematical thinking atau low level mathematical thinking) dan yang
tingkat tinggi (high order mathematical thinking atau high level mathematical
thinking). Merujuk pernyataan NCTM (1999), maka daya matematik tergolong pada
kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi. Selain itu, dengan mengacu
pendapat Del Mas (2002) pengertian berpikir matematik dipandang lebih luas
cakupannya dibandingkan dengan penalaran matematik atau dapat dikatakan
berpikir matematik memuat komponen penalaran matematik.
Selanjutnya, berdasarkan jenisnya
berpikir matematik dapat diklasifikasikan dalam lima kompetensi utama dengan
indicator sebagai berikut:
1.
Pemahaman matematika
(mathematical understanding)
Secara
umum indikator pemahaman matematika meliputi: mengenal, memahami, dan
menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematika.
2.
Pemecahan masalah
matematik (mathematical problem solving) Pemecahan masalah matematik mempunyai dua
makna, yaitu:
a.
Pemecahan masalah sebagai
suatu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk menemukan kembali
(reinvention) dan memahami materi, konsep, dan prinsip matematika. Pembelajaran
diawali dengan penyajian masalah atau situasi yang kontekstual kemudian melalui
induksi siswa menemukan konsep/prinsip matematika.
b.
Pemecahan masalah sebagai
kegiatan yang meliputi:
•
Mengidentifikasi kecukupan
data untuk pemecahan masalah.
•
Membuat model matematik
dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya.
•
Memilih dan menerapkan
strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau diluar matematika.
•
Menjelaskan atau menginterpretasikan
hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.
•
Menerapkan matematika
secara bermakna.
Secara
umum pemecahan masalah bersifat tidak rutin, oleh karena itu kemampuan ini
tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi.
3.
Penalaran matematik
(mathematical reasoning)
Secara
garis besar penalaran dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu penalaran
induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif diartikan sebagai penarikan
kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan data yang teramati. Nilai
kebenaran dalam penalaran induktif dapat bersifat benar atau salah. Beberapa
kegiatan yang tergolong pada penalaran induktif diantaranya adalah:
a.
Transduktif: menarik
kesimpulan dari satu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada yang
kasus khusus lainnya.
b.
Analogi: penarikan
kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses.
c.
Generalisasi: penarikan
kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati.
d.
Memperkirakan jawaban,
solusi atau kecenderungan: interpolasi dan ekstrapolasi.
e.
Memberi penjelasan
terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada.
f.
Menggunakan pola hubungan
untuk menganalisis situasi, dan menyusun konjektur.
Pada umumnya penalaran transduktif
tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat rendah, sedang yang lainnya
tergolong berpikir tingkat tinggi.
Penalaran deduktif adalah penarikan
kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai kebenaran dalam penalaran
deduktif bersifat mutlak benar atau salah dan tidak keduanya bersama-sama.
Penalaran deduktif dapat tergolong tingkat rendah atau tingkat tinggi. Beberapa
kegiatan yang tergolong pada penalaran deduktif diantaranya adalah:
a.
Melaksanakan perhitungan
berdasarkan aturan atau rumus tertentu.
b.
Menarik kesimpulan logis
berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argument, membuktikan, dan
menyusun argument yang valid.
c.
Menyusun pembuktian
langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika.
Kemampuan
pada butir a pada umunya tergolong berpikir matematik tingkat rendah, dan
kemampuan lainnya tergolong berpikir matematik tingkat tinggi.
4.
Koneksi matematika
(mathematical connection)
Kegiatan yang
tergolong pada koneksi matematik diantaranya adalah:
a.
Mencari hubungan berbagai
representasi konsep dan prosedur.
b.
Memahami hubungan antar
topik matematik.
c.
Menerapkan matematika
dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari.
d.
Memahami representasi
ekuivalen suatu konsep.
e.
Mencari hubungan satu
prosedur dengan prosedur yang lain dalam representasi yang ekuivalen.
f.
Menerapkan hubungan antar
topik matematika dan antara topik matematika dengan topik diluar matematika.
5.
Komunikasi matematik
(mathematical communication)
Kegiatan
yang tergolong pada komunikasi matematik diantaranya adalah:
a.
Menyatkan suatu situasi,
gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, symbol, idea, atau model
matematik.
b.
Menjelaskan idea, situasi
dan relasi matematika secara lisan atau tulisan.
c.
Mendengarkan, berdiskusi,
dan menulis tentang matematika.
d.
Membaca dengan pemahaman
suatu representasi matematika tertulis.
e.
Mengungkapkan kembali
suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri.
Kemampuan diatas
dapat tergolong pada kemampuan berpikir matematik rendah atau tingkat tinggi
bergantung pada kekompleksan komunikasi yang terlibat. Dalam mengahadapi era
reformasi dan suasana bersaing yang semakin ketat. dalam mempelajari kompetensi
matematik diatas, siswa perlu memiliki kemampuan berpikir matematik tingkat
tinggi, sikap kritis, kreatif dan cermat, obyektif dan terbuka, menghargai
keindahan matematika, serta rasa ingin tahu dan senang belajar matematika.
Apabila kebiasaan berpikir matematik dan sikap seperti diatas berlangsung
secara berkelanjutan, maka secara akumulatif akan tumbuh disposisi matematik
(mathematical disposition) yaitu keinginan, kesadaran, kecenderungan dan
dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat secara matematik.
Dengan cara yang positif, Polking (1998) mengemukakan bahwa disposisi matematik
menunjukan; (1) Rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan
masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan. (2) Fleksibilitas dalam
menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari metoda alternatif dalam
memecahkan masalah. (3) Tekun mengerjakan tugas matematik. (4) Minat, rasa
ingin tahu (curiosity), dan dayatemu dalam melakukan tugas matematik. (5)
Cenderung memonitor, mereflesikan performance dan penalaran mereka sendiri. (6)
Menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam matematika dan pengalaman
sehari-hari. (7) Apresiasi (appreciation) peran matematika dalam kultur dan
nilai, matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa.
Hampir serupa dengan pendapat Polking
diatas, Standard 10 (NCTM:2000) mengemukakan bahwa disposisi matematik
menunjukan; rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian
serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan
masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang
lain. Disposisi matematik disebut juga productive disposition (sikap
produktif), yakni tumbuhnya sikap positif serta kebiasaan untuk melihat
matematika sebagai sesuatu yang logis, berguna dan berfaedah (Kilpatrick,
Swafford, & Findell, 2001). Memperhatikan kekuatan kognitif dan afektif
yang termuat dalam berpikir dan disposisi diatas adalah rasional bahwa dalam
belajar matematika siswa perlu mengutamakan pengembangan kemampuan berpikir dan
disposisi matematik. Pengutamaan tersebut menjadi semakin penting manakala
dihubungkan dengan tuntutan kemajuan IPTEKS dan suasana bersaing yang semakin
ketat terhadap lulusan semua jenjang pendidikan.
BAB
3
PENUTUP
Kesimpulan : dari pembahasan diatas
bahwa Problem solving adalah satu pengolahan kognitif
penting yang terjadi selama proses pembelajaran, dan mengacu usaha seseorang dalam mencapai tujuan.
Dsini guru harus memiliki strategi agar tujuan yang
diinginkan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Jadi Salah satu langkah untuk strategi untuk
tercpainya tujuan yang diinginkan ini adalah harus menguasai berbagai teknik
penyampaian materi dan juga dapat menggunakan metode yang tepat dalam proses
belajar mengajar sesuai materi yang digunakan oleh guru adalah untuk
menyampaikan informasi kepada siswa agar mereka dapat memiliki pengetahuan,
keterampilan dan sikap.
Stanic, G. and
Kilpatrick, J. (1989). ‘Historical perspectives on problem solving in the mathematics
curriculum’. In R.I. Charles and E.A. Silver (Eds), The Teaching and
Assessing of Mathematical Problem Solving, (pp.1-22). USA: National Council
of Teachers of Mathematics.
0 Comments